Kebenaran dalam Puisi

oleh Toriq Fahmi, mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Puisi lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan sejarah. Sebuah misteri yang perlu diungkap kenapa sosok filsuf dunia melahirkan argumentasi seperti itu.

Puisi, bagi banyak orang adalah kearifan dalam tindak tutur yang melahirkan keinginan secara trasparan. Cinta, keadilan, sosial, alam dan juga budaya telah mendifinisikan sebuah puisi sebagai do’a para dewa yang ada pada diri setiap manusia sehingga disebut sebagai sebuah kebenaran. Puisi adalah kejujuran, sebuah do’a yang sebenarnya, do’a bukan berarti bagaimana seseorang itu meminta dan bersukur tapi do’a yang sebenarnya adalah bagaimana seseorang  bisa mengeluarkan hal-hal yang paling intim dalam dirinya. Dalam tahap ini maka lahirlah ungkapan puitis yang tidak disadari sebab sebuah imajinasi adalah ungkapan perasaan itu sendiri, tanpa merasa manusia tidaklah mampu berfikir apa-apa, perasaan dan imajinasi adalah sebuah ikatan yang tidak bisa dipisahkan. imajinasi tanpa perasaan adalah kosong, perasaan tanpa imajinasi adala bisu.

Jika digambarkan secara konsep ketuhanan maka akan menghubungkan pada tingkatan “Manunggaling Kawula Gusti” milik Syekh Siti Jenar sebuah Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah “Tunggal”. Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah = pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).

Tuhan adalah bentuk ada dari perasaan dan pikiran itu sendiri sebab menurut ilmu tasawuf  tuhan telah mencelupkan diri pada setiap manusia (tuhan lebih dekat dari pada urat nadi) dan tuhan adalah maha benar dan besar karena itu subuah puisi yang lahir merupakan adaptasi dari sifat ketuhanan. Semakin dalam perasaan maka semakin tidak sadar seseorang mengungkapkan dan berbuat sesuatu, dalam artian sebagai berikut “penyair yang sesunguhnya adalah kitika seseorang mengerti perasaan sebuah tisu yang dibuang ke tong sampah”, walaupun tisu hanya sebuah kertas yang tidak memiliki perasaan dan pemikiran. Sangat dalam sekali, inilah yang kemudia di sebut oleh Vici C.Coulter bahwa penyair adalah orang-orang yang menyerupai dewa-dewa atau seseorang yang sangat dekat dengan dewa.

Dari sini kemudian puisi menjadi alat untama penyampaian perasaan cinta terhadap sesuatu yang melahirkan Kalil Gibran ke dunia sebagai sang pencinta sejati, Jaluddin Rumi sebagai penyair sufi yang fenomenal ataupun Rabi’ah yang selama hidupnya tidak menikah Karena ia telah jatuh cinta pada Tuhan-nya sendiri, sepanjang hidupnya hanya untuk Tuhan-nya bahkan setelah kematianya ia lebih memilih untuk hidup di sisi tuhan sebagai istrinya daripada harus hidup di surga.

“Tuhanku. Tenggelamkan diriku ke dalam lautan. Keikhlasan mencintai-M. Hingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku. Selain berdzikir kepada-Mu” (Rabi’ah)

Dalam konteks ini kebenaran dalam puisi adalah sebuah tindakan, puisi dikatakan benar ketika ungkapanya itu telah menjadi pengerak bagi dirinya sendiri, logikanya jujur dan benar bisa nampak ketika sudah bergerak, —mana mungkin bisa dikatakan jujur jika hanya berbicara tanpa melakukan. Kemudian, barulah bisa dikatakan bahwa puisi merupakan ungkapan perasaan atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Penyatuan antara jiwa dan raga, jiwa yang bersifat spiritual yang kemudian mengerakkan raga untuk bertutur dan bertindak dari sinilah keutuhan dan kesatuan itu diperoleh.

Lalu dalam kebenaran puisi itu sendiri Tuhan telah mewahyukan surat As-syu’ara (para penyair) kepada utusanya Muhammad dan menciptakan kontradiksi dengan mengutuk seorang penyair “Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?. kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali” (Q.S. al-Syu’ara’ : 224-227).

Sama sekali tidak menyalahkan Tuhan ketika Tuhan dengan sangat baik menyebut bahwa penyair adalah orang yang suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakanya, juga bisa di sebut seorang penyair. Padahal syair itu sendiri adalah sebuah kebenaran yang berada pada sisi spiritual manusia. Jika sudah demikin maka harus ada pembeda antar penyair dan syairnya, yang benar adalah syairnya tetapi ketika syair itu hanya sekedar ungkapan tanpa laku maka gelar penyairnya harus di copot sebut saja hanya sebuah omong kosong (gombal) atau lebih kasarnya jangan sebut itu sebuah syair/puisi jika hanya alat untuk mengelabui, maka dari sinilah Al-Quran sangat mutlak kebenaranya bahwa orang-orang seperti itu (sok penyair) hanya diikuti oleh orang-orang yang sesat karena sudah menyalahgunakan istilah penyair dan syair.

Dan lebih khususnya adalah puisi cinta yang memainkan manifestasi seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk sosial, seseorang senantiasa berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan keutuhan dirinya. Sementara itu nilai-nilai spiritual itu kian hari kian tergerus oleh peradaban modern yang lebih berorientasi pada materialisme dan hedonisme. Di mana orang berlomba-lomba berhasrat dan berusaha apa saja agar memperoleh “kepemilikan benda tertentu” dan mengejar kesenangan sesaat.

Dari hal inilah kemudian bermunculan penyair-penyair palsu yang melahirkan sajak-sajak palsu yang mengatas namakan kebenaran dalam puisi tetapi hanya sebatas kata-kata indah tanpa didasari kebenaran dalam tindakanya, puisi bisa menjadi sebuah kebanggaan jika sudah mengasilkan materi dan penghargaan atau sebuah pengakuan dengan diterbitkanya di media-media massa jika sudah demikian masih pantaskah disebuat puisi  lebih mendekati kebenaran dibandingkan dengan sejarah? Padahal puisi yang sebenarnya adalah do’a.

 

Surabaya 02.03.2013.5:46 AM

 

 

 

 

 

3 komentar di “Kebenaran dalam Puisi

  1. Kebenaran puisi itu adalah sebagai do’a. Bagaimana puisi itu disampaikan dan kepada siapa saja yang akan menerima memang merupakan sebuah pesan.

Tinggalkan Balasan ke Suci Muslihani Dalimunthe Batalkan balasan